Didalam Agama Islam terdapat larangan berlebihan ketika makan, jika seseorang berlebihan dalam makan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti membuang makanan, kurang bersyukur dalam menerima rezeki yang didapatkan, selain itu, berlebihan ketika makan dapat merusak organ dalam tubuh tanpa kita sadari.
Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiallahu’anhu beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ
“Tidaklah anak Adam mengisi wadah yang lebih buruk daripada perutnya.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al- Imām At-Tirmidzi)([1])
Hadis ini diikhtilafkan oleh para ulama akan keabsahannya. Sebagian ulama memandang bahwasanya hadisnya terputus dan tidak sahih. Sebagian ulama menghasankan hadis ini.
Adapun maksud dari hadis ini, yaitu Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwasanya seorang Muslim hendaknya tidak makan dengan sekenyang-kenyangnya, akan tetapi hendaknya dia makan sesuai dengan kebutuhannya.
Allah ﷻ berfirman,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Makanlah dan minumlah, namun jangan berlebih-lebihan.” ([2])
Seseorang tidak dianjurkan untuk makan sampai sekenyang-kenyangnya tapi secukupnya. Sebab, jika seseorang makan sampai perutnya terlalu kenyang, akhirnya menimbulkan rasa malas dalam bergerak, bawaannya ingin tidur terus dan tidak ingin beraktivitas, sehingga akhirnya otaknya pun buntu (tidak produktif). Dan ini tidak diinginkan dalam Islam. Islam menginginkan seorang hamba beraktifitas dan produktif, baik dalam masalah dunia maupun dalam masalah ibadah.
Adapun kalau sesekali kenyang, maka tidak jadi masalah, sebagaimana dalam hadis disebutkan, Rasulullah ﷺ pernah menyuruh Abū Hurairah radhiallahu ‘anhudhiallahu’anhu untuk minum susu kemudian Abū Hurairah minum lagi, disuruh terus minum lagi sampai akhirnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Minumlah, Wahai Abū Hurairah.”Abū Hurairah berkata,
والذي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا
“Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak mendapati jalur lagi dalam perutku untuknya.” ([3])
Artinya, perut Abū Hurairah radhiallahu ‘anhudhiallahu’anhu sudah benar-benar penuh. Para ulama berdalil dengannya bahwasanya sesekali seseorang (boleh) kenyang. Kalau mungkin kebetulan ada makanan yang enak atau diundang oleh seorang yang ingin dia hormati, kemudian ia makan dengan kenyang, maka tidak jadi masalah. Tetapi yang menjadi masalah adalah kalau terus-terusan (setiap kali) makan selalu kekenyangan, kalau kenyang saja tidak menjadi masalah. Selalu kekenyangan, maka ini tidak benar dan akhirnya menimbulkan kemalasan dalam beribadah, syahwat, dan banyak hal-hal yang disebutkan oleh para ulama. Ingat firman Allah ﷻ :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
“Makan dan minumlah, namun jangan berlebih-lebihan.” ([4])
Para pembaca yang dirahmati oleh Allah ﷻ , Kita di zaman sekarang ini diberikan kenikmatan yang luar biasa; kemudahan makanan dengan berbagai jenisnya. Silahkan seseorang menikmati kenikmatan tersebut, hukum asalnya boleh. Namun yang dilarang adalah berlebih-lebihan; dari satu sisi tidak boleh kekenyangan dan dari sisi lain terlalu sibuk mencari makanan yang istilahnya adalah Wisata Kuliner. Sesekali saja tidak apa-apa, tetapi (jangan) sampai dijadikan suatu perkara yang terus-terusan, sehingga setiap kali makan harus di restoran sana, harus di restoran sini, sehingga waktu habis untuk mencari restoran-restoran tersebut, dan uang pun habis karena harus membeli makanan-makanan yang mewah dan mahal. Saya katakan hukum asalnya boleh memakan makanan yang lezat, sesekali kenyang tidak jadi masalah. Yang dilarang oleh syariat adalah berlebih-lebihan; terus-terusan kekenyangan, terus-terusan wisata kuliner. Ini yang disebut dengan berlebih-lebihan (sedangkan) agama Islam menginginkan suatu yang pertengahan.
خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Dan sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.”